- DIA tergeletak di samping batu nisan sebuah makam. Tubuhnya pucat-pasi. Nafasnya terhenti. Tetapi jantungnya masih kelihatan berdenyut. Dia masih lengkap menggunakan seragam Satpam ketika hendak berangkat tugas. Kasdan, nama satpam tersebut, yang malam itu bertugas jaga di pos empat. Mulai jam delapan malam dia sudah standby di pos kamling dengan kelima temannya. Malam itu suasana aman dalam malam yang dingin. Dan, semakin malam suasana semakin senyap, sementara udara malam semakin dingin mencekam. Kadang dari kejauhan terdengar suara tenggerek yang bersahut-sahutan, seolah malam itu merekalah yang berkuasa.
Jam di pos kamling berbunyi dua kali. Entah mengapa, tiba-tiba Kasdan menyahut jaketnya yang dicantolkan pada sebuah paku di pilar pos, kemudian keluar sambil menoleh sejenak kepada teman-temannya yang masih ada di pos.
“Aku mau ke Tawangsari,” katanya, lalu keluar begitu saja, seolah tak peduli dengan semua teman-temannya yang melihatnya dengan bengong. Kasdan berjalan ke arah selatan. Teman-temannya hanya mengikuti pandang dari kejauhan, hingga Kasdan tak terlihat lagi di kegelapan malam yang semakin pekat.
Setelah Kasdan keluar, semua teman-temannya yang masih di pos kamling lalu mulai melaksanakan tugas keliling desa. Hinnga menjelang Subuh Kasdan belum juga kembali ke pos kamling. Teman-temannya bisanya hanya saling berpandangan tanpa tahu apa yang harus mereka perbuat. Setelah dicari beberapa saat lamanya Kasdan ditemukan tergeletak pada sebuah makam. Melihat hal itu secara beramai-ramai dia lalu diangkat untuk dibawa pulang ke rumahnya. Lalu Kasdan dibaringkan di sebuah bayang.
Pagi itu para tetangga berdatangan untuk melihat Kasdan. Mereka semua ingin tahu mengapa Kasdan bisa sampai begitu, lalu apa yang terjadi dengannya ? Salah seorang kakek-kakek yang berpengaruh di desa itu lalu memijit-mijit jidat Kasdan. Mulutnya yang dipenuhi dengan kumis yang sudah memutih berkomat-kamit membaca mantera. Akhirnya, berkat mantera-mantera kakek tadi Kasdan lalu sadar.
“Kang Kasdan….” Isterinya setengah berteriak seraya memeluk suaminya.
“Kang….apa yang terjadi denganmu Kang? Ini aku Kang….dan ini anak-anakmu !” Perlahan-lahan Kasdan duduk di bayang, lalu meminum kopi yang telah disediakan oleh isterinya. Kini dia sadar sepenuhnya. Para tetangga yang mengelilinginya dipandangnya secara bergantian. Salah seorang temannya yang ikut ronda mendekat lalu bertanya, “Dan, bagaimana perasaanmu sekarang? Lalu apa yang terjadi semalam denganmu?”
“Kamu capek, Dan?”
“Heeh…aku capek sekali, tulang-tulangku serasa lepas rasanya”.
“Merokok, Dan?” temannya menyodorkan sebatang rokok, disautnya sebatang. Lalu dirokoknya. Nikmat sekali kelihatannya.
“Semestinya kamu masih ingat ya Dan, ketika kami bersama-sama jaga di pos kamling kemarin semalam?” Tanya Damin mencoba memancing ingatan Kasdan.
“Ya…ya aku masih ingat benar. Malam itu aku pamit dengan kamu ya?” Kasdan ganti bertanya kepada Damin, teman sesama ronda semalam yang kini ada di dekatnya.
“Semalam aku berniat untuk mengadakan ronda ke Tawangsari. Entah karena apa tiba-tiba aku berkeinginan untuk ronda sendirian saja. Setelah di sana, menurut perhitunganku, aku bakal ketemu dengan kalian yang akan menyusul ke Tawangsari. Waktu itu aku sudah tiba di warung nasi rawon Pak Brengos. Tetapi tiba-tiba saja aku tiba pada sebuah jalan yang gelap penuh bebatuan. Aku mengira bahwa aku telah salah jalan. Sedianya aku akan cepat kembali. Namun, tiba-tiba aku segera menghentikan langkahku ketika telingaku menangkap suara hura-hura. Rupa-rupanya tidak jauh dari tempatku berdiri ada orang yang menyelenggarakan pesta-pora. Tetapi, siapa orangnya yang malam-malam begini mengadakan pesta, aku penasaran. Aku lalu berjalan berbelok ke kiri ke sebuah gang yang sempit serta melewati jalan kereta api. Barulah di situ aku bisa menyaksikan keluarga yang sedang mengadakan pesta-pora yang meriah. Ketika aku lagi terkesima melihat pesta itu tiba-tiba aku melihat sepasang muda-mudi yang datang menghampiriku”.
“Mari Om silakan masuk. Om termasuk orang yang kami undang”. Aku seperti terkena hipnotis ketika mereka manggandeng tanganku diajak masuk ke dalam pesta itu. Di situ aku melihat empat puluh pasang muda-mudi yang sedang berdansa dengan irama yang lembut sekali. Lagu yang mengiringinya seperti lagu Barat seperti yang digunakan untuk mengiringi para nonik-nonik Belanda tempo dulu. Sekeliling ruangan dipenuhi dengan cahaya lampu yang beraneka warna. Tak lama kemudian ada seseorang wanita yang cantik jelita memberikan minuman kepadaku.
Dengan suaranya yang lembut disertai dengan senyuman yang sangat menawan, dia mengajak minum-minum bersama. Aku merasakan minuman yang kuminum itu rasanya hambar.
“Yuk menari Om…” Wanita itu mengajak menari sambil melingkarkan tangannya ke punggungku.
Anehnya, aku sama sekali tak kuasa untuk menolaknya. Aku hanya menuruti saja kehendaknya. Tak lama kemudian aku dan wanita itu sudah membaur dengan muda-mudi lainnya yang berjubel di ruangan itu. Kulihat wanita pasanganku itu tampak semakin cantik.
Wajahnya yang dihiasi dengan rambut ikal sebahu menambah kecantikannya tiada tara. Aku lalu mengajaknya ke tempat yang sepi, jauh dari keramaian yang hiruk-pikuk. Di tempat yang sepi itu suasana kurasa semakin romantis. Tempat itu ternyata ada di belakang rumah yang besar.
“Aduh, Mas, tiba-tiba saja kepalaku merasa gatal sekali. Tolonglah garuk kepalaku ini, Mas…” katanya sambil menunjukkan tengah kepalanya yang katanya merasa gatal. Aku tak mengira sama sekali kalau dia semakin manja. Kuturuti permintaannya. Ketika kugaruk kepalanya di sela-sela rambutnya yang lembut dengan bau parfum yang menyengat, pandangan mataku menatap sebuah benda kekuning-kuningan layaknya sebuah susuk persis di tengah-tengah jidatnya.
“Lho, di tengah-tengah kepalamu kok ada susuknya yang menancap ?” kupelototi benda itu.
“Yah…mungkin benda itu yang membuat kepalaku terasa gatal sekali…” katanya dengan tenang. Seolah tak ada yang terlalu istimewa dengan benda itu.
“Lalu bagaimana ? Apa yang harus aku lakukan?” aku masih melihat susuk yang masih menancap di jidatnya.
“Tolong deh Mas…cabut saja susuk itu…” pintanya. Aku lalu menuruti saja permintaannya. Ketika susuk yang berwarna kuning keemasan itu kucabut, masya'allah…bukan susuk saja yang kucabut, tetapi kepalanya ikut tercabut dengan enaknya. Dan, kepala yang ikut tercabut itu sama sekali tak ada darah yang keluar. Kepala yang tercabut dengan mudah itu bagaikan permainan belaka. Kepala yang masih ada di tanganku itu lalu kubuang begitu saja. Kemudian kepala itu menggelinding ke sana-ke mari sambil tertawa menyeringai dengan wajah yang menakutkan. Matanya melotot disertai dengan lidah yang menjulur-julur.
Melihat kejadian yang sangat menakutkan itu aku bisanya hanya menjerit ketakutan, ”Hantu…tolong…hantu…” dengan sisa-sisa kekuatanku aku lalu lari meninggalkan tempat itu. Tetapi, baru beberapa langkah, tiba-tiba ada segerombolan orang yang menghadangku. Astaga… ternyata orang-orang yang menghadangku itu juga sama-sama tak berkepala semua.
Dengan berjalan perlahan-lahan bagaikan film “zombie” mereka berusaha hendak menangkapku. Tak ada jalan lain yang bisa kuperbuat selain berteriak-teriak sekeras-kerasnya. “Tolong … Tolong … tolong…!” Bersamaan dengan teriakanku yang membahana di tengah malam jahanam itu, aku lalu tak sadarkan diri, hingga akhirnya aku kalian temukan.
Demikian cerita Kasdan di tengah-tengah para famili dan tetangga yang mengelilinginya. Belakangan baru diketahui bahwa tempat tersebut dulu digunakan untuk orang-orang G.30.S PKI yang dikubur secara massal. (R.26)
Sumber