Kerajaan Mataram mendapat pemberitaan pertama dalam prasasti canggal, desa terletak di selatan Muntilan, yang memuat angka tahun 656 Saka (atau 732 M). Di prasasti ini sedikit mengisyaratkan adanya suksesi. Di beritakan di prasasti itu bahwa kerajaan mengalami kejayaan pada masa pemeritahan raja Sanna. Raja Sanna adalah raja yang berbudi luhur dan bijaksana. Tetapi begitu ia mangkat maka pecahlah kerajaannya. Bukan hanya ada masalah suksesi, melainkan telah terjadinya perang suksesi.
Dari prasasti canggal yang merupakan salah satu sumber sejaraah sejaman yang relevan, tampaknya Sanna tidak meninggalkan putra mahkota yang unggul. Maka dari itu pecah perang suksesi yang memunculkan Sanjaya sebagai sang pemenang (Sanjaya=sang pemenang).
Suatu kemungkinan bahwa Sanjaya merebut tahta dari keturunan Sanna. Hal itu dapat dijelaskan, barangkali Sannaha, adik perempuan Sanna, menikah mendahului kakak laki-lakinya. Maka putera Sannaha lebih dewasa daripada putra Sanna. Jelasnya Sanjaya lebih dewasa daripada putra-putra Sanna sehingga menang dalam perang suksesi itu.
Dalam prasasti Canggal Sanjaya dipuji sebagai raja yang ahli dalam kitab suci dan keprajuritan. Sanjaya pun mampu menakhukkan daerah sekitar kerajaannya, menciptakan ketentraman dan kemakmuran yang dapat dinikmati rakyatnya. Dari keterangan tersebut memperkuat dugaan bahwa Sanjaya lebih unggul daripada saudara-saudara sepupunya. Atas keberhasilan usaha Sanjaya, maka tahun 656 saka, Sanjaya mendirikan monumen berupa lingga dan candi Siwa di bukit Stirangga yang di kenal sebagai prasasti dan candi Canggal (Wukir).
Agak lama kerajaan Mataram hilang dari pemberitaan sejak Canggal. Ada berita dari prasasti Plumpungan (Salatiga) berangka tahun 752 M, dalam prasasti itu diberitakan pemerintahan Maharaja Bhanu. Tampaknya Bhanu berasal dari keluarga raja (dinasti) yang berbeda dengan Sanjaya. Pendapat umum yang berlaku sampai sekarang mengisyaratkan Bhanu sebagai pendiri dinasti Sailendra (Selendra) yang berpaham Budha.
Munculnya dinasti baru secara potensial membuka peluang terjadinya persaingan antar dinasti. Hal itu dapat berkaitan dengan masalah suksesi yang muncul. Persaingan itu tampak dalam berita Cina dari dinasti T’ang tahun 828 S. Di dalam berita itu diterangkan bahwa raja Ho-ling beristana di Cho-po, tetapi raja Ki-yen memindahkan ibukota kerajaan kearah timur yaitu ke Po-lu-kia-sieu. Menurut berita cina yang lain kitab Tuen-shi-lei-pien perpindahan itu trjadi antara tahun 664-677 S atau 752-755 M. Mungkin sekali maharaja Bhanu yang mendesak Ki-yen memindahkan ibukota kerajaannya ke Po-lu-kia-sieu.
Pemberitaan dalam kronik T’ang tersebut didukung oleh pemberitaan dalam prasasti Dinaya yang bertarik 682 S (760 M). Dalam berita prasasti Dinaya Dewasimha telah menyiapkan Liswa sebagai putera Mahkota, penggantinya. Liswa naik tahta dengan gelar Gajayana, seterusnya berputeri Utteyana yang tampak disiapkan untuk menjadi penggantinya. Terkesan dalam pemberitaan itu Utteyana adalah puteri mahkota ( tak ada berita tentang putera-puteri Gajayana yang lainnya).
Kembali ke Maharaja Bhanu, ada kemungkinan Bhanu mendesak raja Sanjaya ke arah timur. Dengan begitu tidak berarti berakhirnya pemerintahan dinasti Sanjaya di Jawa Tengah. Dalam berita Tembaga Kedu (prasasti Mantyasih) bertarih 829 S (907 M). Sejak raja Sanjaya di kenal sejumlah raja yang dianggap masuk dinasti Sanjaya;
1.Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya;
2.Sri Maharaja Rakai Panangkaran;
3.Sri Maharaja Rakai Panunggalan;
4.Sri Maharaja Rakai Warak;
5.Sri Maharaja Rakai Garung;
6.Sri Maharaja Rakai Pikatan;
7.Sri Maharaja Rakai Kayuwangi;
8.Sri Maharaja Rakai Watuhumalang, serta terakhir
9.Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodya Mahasambu, yang mengeluarkan prasasti itu.
Sesudah Balitung masih terdapat raja Sanjayawamsa yang lain yaitu:
10.Sri Maharaja Rakai Daksa;
11.Sri Maharaja Rakai Tulodong;
12.Sri Maharaja Rakai Wawa.
Sri Maharaja Rakai Sindoklah yang dalam tahun 929 memindahkan ibukota Mataram ke Jawa Timur.
Bersamaan dengan pemerintahan sejumlah raja dari keluarga Sanjaya berlangsung pula pemerintahan keluarga raja-raja Sailendra yaitu;
1.Sri Maharaja Bhanu;
2.Sri Maharaja Wisnu Dharmottungga;
3.Sri Maharaja Indra Sanggramadananjaya;
4.Sri maharaja Samarottungga;
5.Sri Kahulunan atau Pramodawardhani;
6.Balaputradewa.
Raja –raja dari kedua keluarga itu akan mewarnai munculnya masalah perang suksesi dalam sejarah Mataram Kuno. Pada umumnya raja menunjuk salah seorang anaknya menjadi putera dan puteri mahkota, dengan demikian legitimasinya mudah, tetapi dapat terjadi pengganti raja bukan putera mahkota, hal ini jelas legitimasinya lebih sulit. Namun di sisi lain hal tersebut dapat mendorong kemajuan budaya politik. Contohnya pertamanya yakni dalam kasus menyangkut kenaikan Balitung di atas tahta Mataram. Daftar Balitung dalam prasasti Mantyasih atau Tembaga Kedu (907) menjadi petunjuknya. Daftar itu memuat 8 nama raja Mataram dari Sanjaya sampai Watuhumalang. Silsilah yang termuat di daftar itu diduga adalah rekayasa Balitung untuk melegitimasi kedudukannya sebagai raja karena ia bukan keturunan Sanjaya tetapi menantu Watuhumalang. Menurut Dr, B Schrieke makin seorang raja menonjolkan silsilahnya makin diragukan keabsahan silsilah itu.
Jadi Jawa Tengah pernah ada dua dinasti, berdasarkan prasasti Canggal, Mantyasih, dan Plumpungan (1752), Kelurak (782), Karangtengah (824) dan sebagiannya tentang dinasti Sailendra. Ada persaingan dalam keserasian atau keserasian dalam persaingan. Proses ini pernah berakhibat dinasti Sanjaya menjadi dinasti bawahan dari dinasti Sailendra selama ± 75 tahun, yaitu dari ± 775 s.d 850. Masa itu disebut dalam sejarah Sailendra interregnum.
Pada prasasti Siwagrha (Ratu Baka) 778 S (856 M) terdapat informasi terkait masalah suksesi yakni berkaitan dengan pergantian raja sesudah Pikatan turun tahta pada tahun itu. Hal yang menarik bahwa Pikatan tidak memerintah sampai mangkat. Itu berarti ada contoh kasus raja yang lengser keprabon (berhenti menjadi raja pada saat ia masih hidup). Turunnya tahtanya Pikatan didahului oleh perang saudara antara Ratu Pramodawardhani maelawan adiknya, Balaputradewa. Dalam perang itu Balaputradewa berhadapan dengan koalisi Pramodawardhani-Pikatan.
Asal mula perang tersebut sesudah raja-raja Sailendra mengungguli raja-raja Sanjaya selama 75 tahun tibalah saatnya raja dari keluarga yang disebut kemudian mengakhiri keunggulan dinasti yang di sebut lebih dahulu. Untuk menjaga atau mempertahankan keberadaan dinastinya, Sri Kahulunan ( Pramodawardhani) yang lebih tua berselisih paham dengan Balaputradewa yang lebih muda.
Sri Kahulunan berpendapat untuk mempertahankan eksistensi keluarga raja-raja Sailendra bukan konfrontasi caranya, melainkan dengan “fusi”.
Sri Kahulunan dan Pikatan berkoalisi menghadapi saudaranya, Balaputradewa, dalam perang di bukit Ratu Baka. Dalam perang tersebut Balaputradewa kalah dan mengundurkan diri ke Sumatra.
Mungkin sekali Pikatan itulah pendiri candi Lara Jonggrang. Candi itu diselesaikan pada 856. Ia ingin menunjukan bahwa raja dari keluarga Sanjaya mampu membangun candi yang besar dan sangat indah, yang sanggup menandingi kemegahan candi Borobudur yang didirikan oleh raja Sailendra. Jadi candi Lara Jonggrang pada hakekkatnya adalah monumen kembalinya kejayaan rajakula Sanjaya.
Sumber Referensi Buku:
G. Moedjanto, 2002, Suksesi dalam Sejarah Jawa. Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta