Senin, 27 April 2020

Pemikiran Ekonomi Nasional

Pemikiran ekonomi pada 1950-an pada umumnya merupakan upaya mengembangkan struktur perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional. Hambatan yang dihadapi dalam mewujudkan hal tersebut adalah sudah berakarnya sistem perekonomian kolonial yang cukup lama. Warisan ekonomi kolonial membawa dampak perekonomian Indonesia banyak didominasi oleh perusahaan asing dan ditopang oleh kelompok etnis Cina sebagai penggerak perekonomian Indonesia. Kondisi inilah yang ingin diubah oleh para pemikir ekonomi nasional di setiap kabinet di era demokrasi parlementer. Upaya membangkitkan perekonomian sudah dimulai sejak kabinet pertama di era demokrasi parlementer, Kabinet Natsir.

A. Gerakan Benteng
Perhatian terhadap perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan oleh Soemitro Djojohadikusumo Menteri Perdagangan pada masa Kabinet Natsir yang berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia pada hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru. Sumitro yang merupakan wakil Partai Sosialis Indonesia dalam kabinet Natsir (Masyumi) melihat menumpuknya beban pemerintahan RI karena utang warisan penjajah Belanda sangat membebani Republik Indonesia. Gagasan Soemitro kemudian dituangkan dalam program Kabinet Natsir dalam wujud pencanangan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) yang sering disebut juga dengan Plan Soemitro. Wujud dari RUP tersebut kemudian dicanangkan Program Benteng.

Program Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Istilah ‘Benteng’ dari ide Sumitro ini diberikan karena pada dasarnya program tersebut berusaha membangun kewirausahaan pribumi agar mampu membentengi perekonomian negara yang baru merdeka seperti Indonesia. Tujuan dari program Gerakan Benteng antara lain sebagai berikut:
  1. Menumbuhkan dan membina wiraswasta Indonesia sambil menumbuhkan ekonomi nasional.
  2. Mendorong importir-importir nasional hingga mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan impor asing (Belanda dan China).
  3. Membatasi impor barang-barang agar memberikan lisensi impor hanya kepada importir Indonesia
  4. Memberikan bantuan dalam bentuk kredit kepada importir Indonesia.

Sayangnya dalam pelaksanaan muncul masalah karena dalam pelaksanaan Program Benteng, pemberian lisensi impor banyak yang disalahgunakan. Penyebab masalah dalam Program benteng antara lain sebagai berikut.
  1. Mereka yang menerima lisensi adalah orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan kalangan birokrat yang berwenang mendistribusikan lisensi dan kredit. Pengusaha-pengusaha yang masuk dalam Program Benteng bahkan ada yang menyalahgunakan untuk mencari keuntungan yang cepat dengan menjual lisensi impor yang dimilikinya kepada pengusaha impor yang sesungguhnya, yang kebanyakan berasal dari keturunan Cina. 
  2. Penyelewengan lainnya adalah dengan cara mendaftarkan perusahaan yang sesungguhnya merupakan milik keturunan Cina dengan menggunakan nama orang Indonesia pribumi.

Program Benteng akhirnya secara resmi dihentikan pada tahun 1957 oleh Menteri Perekonomian, Ir. Rooseno Surjohadikusumo, atas dasar menghilangkan diskriminasi rasial dalam praktik perekonomian negara. 

B. Gerakan Ekonomi Ali Baba
Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I (Agustus 1954 - Agustus 1955), menteri prekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi baru yang dikenal dengan sistem Ali-Baba. Artinya, bentuk kerjasama ekonomi antara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan pengusaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba. Tujuan dari program ini adalah:
  1. Untuk memajukan pengusaha pribumi.
  2. Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
  3. Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.

Kebijakan ini digambarkan Ali sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
  1. Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
  2. Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.
  3. Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.

C. Gerakan Asaat
Usaha lain yang pernah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pengusaha pribumi dilakukan melalui “Gerakan Asaat”. Gerakan Assat merupkan suatu gerakan ekonomi yang diprakarsai Mr. Asaat yang merupakan Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Natsir.

Gerakan Asaat memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing pada terhadap gerakan ini terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1956 bahwa pemerintah akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi. Ternyata kebijakan pemerintah ini memunculkan reaksi negatif yaitu muncul golongan yang membenci kalangan Cina. Bahkan reaksi ini sampai menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan masyarakat pribumi.

D. Gunting Syafrurudin
Pemerintah, selain melakukan upaya perbaikan jangka panjang, juga melakukan upaya perbaikan jangka pendek untuk menguatkan perekonomian  Salah satunya yang dikenal dengan istilah Gunting Syafrudin. Gunting Sjafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950. Menteri Keuangan, Syafrudin Prawiranegara, mengambil kebijakan memotong uang dengan memberlakukan nilai setengahnya.
an pada umumnya merupakan upaya mengembangkan struktur perekonomian kolonial menjadi perek Pemikiran Ekonomi Nasional
Menurut kebijakan tersebut, uang NICA dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Guntingan kanan dapat ditukar dengan obligasi Pemerintah. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia).

Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk—utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. Dengan kebijaksanaan yang kontroversial itu, Sjafruddin bermaksud sekali pukul menembak beberapa sasaran: penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dan dengan demikian menurunkan harga barang, dan mengisi kas pemerintah.

E. Rencana Program Lima Tahun (RPLT)
Pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara (BPN). Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap).

Program Pembangunan Rencana Lima Tahun berbeda dengan RUP yang lebih umum sifatnya. Program Rencana Lima Tahun lebih bersifat teknis dan terinci serta mencakup prioritas-prioritas proyek yang paling rendah. Tujuan dari Rencana Lima Tahun adalah mendorong munculnya industri besar, munculnya perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan jasa pada sektor publik yang hasilnya diharapkan mampu mendorong penanaman modal dalam sektor swasta. RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
  1. Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
  2. Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
  3. Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.

5. Nasionalisasi Perusahaan
Usaha pembangunan ekonomi nasional lainnya dijalankan dengan kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Nasionalisasi adalah proses di mana negara mengambil alih kepemilikan suatu perusahaan milik swasta atau asing. Undang-Undang nasionalisasi disahkan pada tanggal 27 Desember 1958. Dalam Peraturan  Pemerintah (PP) No.23/1958 tersebut ditetapkan bahwa perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah RI menjadi milik penuh dan bebas negara RI.

Pada tahun 1956, PM Ali Sastroamidjojo II membatalkan perjanjian KMB dengan Belanda secara sepihak, karena Belanda tidak mau menyerahkan Irian Barat kepada RI. Namun, pemerintah RI masih mengusahakan perjuangan diplomasi melalui Perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Hasilnya, Indonesia kembali gagal memperjuangkan kembalinya Irian Barat ke dalam naungan RI dalam Sidang Umum PBB di bulan November 1957. Pemerintah Indonesia pada masa itu mengambil kebijakan untuk melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda. Sejak tahun 1957 nasionalisasi yang dilakukan pemerintah terbagi dalam dua tahap;
  1. Pertama, tahap pengambilalihan, penyitaan dan penguasaan atau sering disebut “di bawah pengawasan”. 
  2. Kedua, pemerintah mulai mengambil kebijakan yang pasti, yakni perusahaan-perusahaan yang diambil alih itu kemudian dinasionalisasikan.

Selanjutnya pemerintah membentuk Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) untuk menertibkan proses nasionalisasi. Beberapa Perusahaan asing yang dinasionalisasi antara lain sebagai berikut.
  1. Pada tahun 1953 Pemerintah Indonesia menasionalisasi De Javasche Bank (DJB) menjadi Bank Indonesia (BI).
  2. Perusahaan swasta peninggalan Belanda yang mengelola listrik dilebur ke dalam PLN (Perusahaan Listrik Negara). 
  3. Pengelolaan jaringan kereta api dilebur menjadi Djawatan Kereta Api (DKA), yang kemudian berkembang menjadi PJKA, PERUMKA dan saat ini PT KAI.
  4. Sektor kepentingan umum lain yang diambil alih adalah jawatan Pos Telegram dan Telekomunikasi (PTT), Djawatan Pegadaian dan Djawatan Angkutan Motor RI (DAMRI), 
  5. Perusahaan perkebunan Belanda diambil alih dan kemudian ditempatkan di bawah pengawasan Pusat Perkebunan Negara (PPN) 
  6. Dalam bidang perhubungan, dibentuk penerbangan komersial Garuda Indonesia Airways (GIA) yang mengambil alih semua asset KNILM (Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappij), anak perusahaan KLM di Hindia Belanda).
  7. Perusahaan pelayaran Belanda KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) yang merupakan embrio PELNI.
  8. Perusahaan-perusahaan minyak seperti BPM (Borneo Petroleum Maatschappij) dan Shell (perusahaan patungan Belanda-Inggris).