Rabu, 29 April 2020

Pembentukan NIT dan Reaksi Perjanjian Linggarjati

Selamat datang di , yang pada kesempatan ini akan mengulas sedikit tentang “Pembentukan NIT dan Reaksi Perjanjian Linggarjati”, dan untuk penjelasannya mari kita simak ulasan berikut.
Setelah usai Konferensi Malino, yang nampaknya mendapat reaksi keras rakyat Maluku Utara, hal ini karena pemerintah Belanda meneruskan upaya untuk membentuk NIS. Berbagai konferensi diselenggarakan tanpa menghiraukan protes dari RI dan rakyat.
 yang pada kesempatan ini akan mengulas sedikit tentang  Pembentukan NIT dan Reaksi Perjanjian Linggarjati
Tanggal 7 sampai dengan 24 Desember 1946, sebuah konferensi diselenggarakan van Mook di Denpasar, Bali, sebagai tindak lanjut Konferensi Malino dan sebagai upaya Belanda mendirikan negara-negara bagian dalam rangka mewujudkan NIS. Dari Konferensi Denpasar kemudian melahirkan NIT, yang merupakan prototipe negara-negara boneka yang kemudian secara terus menerus dibentuk belanda. Meskipun kekuasaan Belanda masih dominan, didalam konferensi ini muncul ide-ide nasionalisme yang tetap betahan kuat dan berujung dalam bentuk kompromi. Hal tersebut terbukti dengan ditetapkannya lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan NIT.

Nampaknya ada sebuah kejanggalan yang mencolok dalam Konferensi Denpasar yang dihadiri wakil-wakil dari Sulawesi Selatan 20 orang, Minahasa/Sulawesi Utara 3 orang, Sulawesi Tengah 6 orang, Bali 7 orang, flores 3 orang, dan Sumbawa 3 orang, yakni karena tidak hadirnya wakil Maluku Utara. Suara-suara keras dari wakil-wakil Maluku Utara yang diperdengarkan dalam Konferensi Malino barangkali telah menyebabkan van Mook tidak ingin wakil Maluku Utara yang dianggap mengganggu Konferensi Denpasar.

Tanggal 7 Desember 1946, suatu konferensi pendahuluan untuk Konferensi Denpasar dilangsungkan, yang dipimpin Komisaris Pemerintah Belanda untuk Kalimantan dan Timur Besar, Dr. W. van Hoven. Konferensi pendahuluan ini membahas rencana materi pembentukan NIT, pemilihan Kepala Negara, Ketua Parlemen dan Perdana Menteri NIT, yang masing-masing dijabat oleh Cokorde Gde Rake Sukawati, Mr. Tajuddin Noor, dan Najamuddin Daeng Malewa. Dalam konferensi itu, juga ditetapkan Makassar sebagai ibu kota NIT.

Apa itu NIT?
NIT adalah negara boneka pertama bentukan Belanda dalam rangka pembentukan NIS. Di bulan April 1947, Parlemen NIT terbentuk dengan anggota-anggotanya yang diambil dari dewan-dewan daerah, dan karena itu bersifat sementara, menunggu pelaksanaan pemilihan umum untuk pembentukan sebuah parlemen yang representatif. Rencana pembentukan sebuah parlemen yang representatif tersebut ternyata tetap tinggal rencana. Sampai dengan bubarnya NIT pada tahun 1950 pemilihan umum yang direncanakan nyatanya tidak pernah terlaksana.

Kemudian wakil-wakil yang duduk dalam Parlemen NIT membentuk fraksi-fraksi. Fraksi paling utama adalah Fraksi Progresif pimpinan Mononutu, dan anggota parlemen mewakili Maluku Utara yang mencita-citakan NIS berdasarkan Perjanjian Linggarjati dan berupaya memperjuangkan kemakmuran rakyat. Fraksi Progresif merupakan fraksi oposisi dan selain itu, masih ada Fraksi Demokrat  serta Fraksi Nasional.

Bulan April 1947 untuk pertama kalinya parlemen NIT bersidang dengan mengundang tokoh-tokoh dan pejabat RI. Dalam kesempatan itu, RI mengirim delegasi yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono IX. Dan salah satu anggota delegasinya adalah Mr. Latuharhary, Gubernur RI untuk Maluku. Dalam persidangan Parlemen NIT, Mr. Latuharhary nampaknya ditolak masuk ke ruang sidang dengan alasan daerah Maluku tidak boleh dicampuri pejabat-pejabat RI berdasarkan Perjanjian Linggarjati.

Disamping hal itu, personal kabinet NIT yang telah terbentuk memperoleh kritik keras bukan hanya dari kalangan politisi Indonesia, namun juga dari para petinggi Belanda. Komisaris Pemerintahan Belanda untuk Indonesia bagian timur, Brouwer, dalam surat yang tertanggal 25 November 1947 kepada Letnan Gubernur Jenderal van Mook, menyatakan bahwa Presiden Sukawati adalah seorang yang lemah. Sementara Jaksa Agung NIT, Dr. Soumokil, ketika memberi keterangan Pemerintahan di depan parlemen bertindak seolah-olah membacakan requisitoir, yang semuanya didasarkan pada sensasi.

Naskah pidatonya tidak dibagikan kepada anggota parlemen, sedangkan masalah yang disampaikan tidak pernah dibicarakan terlebih dahulu dengan kabinet. Dalam surat yang sama, Brouwer juga mengemukakan: “Saya telah memberikan berbagai bimbingan selama beberapa bulan kepadanya agar ia agak hati-hati dan berlaku diplomatis, tetapi hasilnya mengecewakan”. Brouwer juga mengungkapkan bahwa Mononutu bersama 30 hingga 35 anggota parlemen lainnya dikenal sebagai pihak oposisi. Orang-orang tersebut selalu berusaha ‘mengirim menteri ke rumah”, yakni berupaya membuat mereka dipecat. Namun nampaknya Brouwer yakin bahwa Presiden tidak begitu percaya kepada Mononutu. Menurut Brouwer, nampaknya Presiden terlihat lebih percaya kepada Haji Muchtar Lutfi. Kebanyakan anggota parlemen lebih berorientasi ke Jakarta, tetapi kebanyakannya tidak cakap.

Van Emstede, anggota penanggung jawab sementara Badan Pemerintahan Indonesia Timur, dalam surat tertanggal 30 Januari 1948 kepada Prof. Romme, anggota Parlemen Belanda, mengungkapkan kekecewaannya atas sejumlah tindakan penguasa NIT. Najamuddin Daeng Malewa, Perdana Menteri NIT, menurut van Emstede, adalah tokoh yang kurang disenangi kawula negara Belanda dan tidak disukai rakyat. Najamuddin akhirnya dipecat karena korupsi dan diganti oleh Anak Agung Gde Agung.

Van Empstede merasa kesal dengan mosi Arnold dalam parlemen NIT. Pada puncak konfliknya dengan salah seorang residen, fraksi ini telah mengajukan mosi agar semua pegawai diintergasikan. Mosi itu akhirnya berhasil digagalkan Perdana Menteri NIT, Anak Agung Gde Agung.

Di samping itu, Komandan Militer Belanda yang berada di Makassar, de Vries, dalam laporan tertanggal 1 Mei 1947, mengungkapkan bahwa situasi Indonesia Timur pasca pembentukan NIT memperlihatkan bahwa beberapa kelompok Maluku menyatakan Maluku dapat bergabung dengan RI berdasarkan pasal 3 Linggarjati.

Pendapat itu bertolak dari jalan pikiran bahwa dalam perjanjian itu tidak disebutkan adanya NIT. Dan karena hal itu, rakyat Indonesia Timur berwenang untuk bergabung dengan salah satu negara bagian yang akan menjadi negara federal dan akan dibentuk nanti.
Berkaitan dengan situasi di Maluku Utara, de Vries mencatat bahwa keamanan wilayah agak terganggu dengan adanya berita bahwa sebuah perahu yang dipersenjatai telah memasuki kepulauan Sula.

Di bulan April 1947, sebuah perahu Filipina yang dilengkapi senjata apai telah berkunjung ke pantai utara pulau Taliabu dan awak perahu tersebut mendemostrasikan pemasangan sejumlah ranjau dan bom, yang menimbulkan kecemasan di kalangan rakyat Taliabu.

Selain infiltrasi perahu-perahu Filipina, di Galela juga timbul ketidaktenangan yang dilakukan mantan Heiho pada tahun 1946. Pemimpin orang Jawa dan Sumatera bekas Heiho telah ditahan untuk mencegah propaganda pro republik kepada rakyat. Para mantan Heiho itu mengali senjata-senjata Jepang yang ditanam di dalam tanah serta menyelami Danau Galela untuk mencari senjata yang dibuang ke dalamnya. Dan mereka berhasil mengangkat sejumlah senapan mesin persawat terbang dan mendapatkan berbagai senjata peninggalan Sekutu yang diselundupkan dari Morotai. Dalam bulan April 1947 ribuan mantan Heiho direpatriasi. Mereka merupakan otak pelanggaran keamanan yang di laten di Keresidenan Maluku Utara.

Di ambon, sebagai reaksi atas tindakan-tindakan Belanda, telah berdiri Partai Indonesi Merdeka (PIM) yang dipimpin Pupella, seorang pro Republik yang militan. Perjanjian Linggarjati juga telah mendorong berdirinya partai politik pro RI.

PIM semakin menggebu-gebu aktivitasnya setelah kembalinya Dr. Sitanala, seorang republikan dan politikus terkenal sejak sebelum Perang Dunia II. PIM mengangkat Sitanala sebagai “Bapak Tanah Air.”

Di Papua seorang pejuang republik, S. Ratulangi, diasingkan di pulau Yapen. Namun, nampaknya ia membawa pengaruh buruk bagi keamanan. Residen Papua melaporkan bahwa sejak 2 bulan terakhir rakyat di Wandamen dan Biak meneriakkan yel-yel “merdeka.” Di Jayapura muncul upaya melawan pemerintah dengan cara menjatuhkan wibawanya. Dalam bulan Januari dan Maret 1947, telah ditahan sepuluh orang komisaris Komite Indonesia Merdeka (KIM). Sementara di Gorontalo dan Donggala, kaum republikan memberikan reaksi terhadap Perjanjian Linggarjati dan menyatakan bahwa perjanjian itu tidak lebih dari simbol akal-akalan Belanda saja.

Di Ternate nampaknya, PI menyampaikan kabar kepada masyarakat bahwa Perjanjian Linggarjati adalah praktek akal busuk pemerintah Kolonial Belanda untuk memecah-belah bangsa Indonesia. Sementara di Minahasa, Sam Ratulangi dalam pengarahannya kepada konggres Minahasa pada tanggal 21 November 1946 menyatakan bahwa Perjanjian Linggarjati hendaknya tidak mempengaruhi cita-cita rakyat untuk merdeka dan berdaulat.

Setelah eksperimennya denga NIT berhasil. Belanda mengadakan berbagai konferensi di daerah-daerah yang didudukinya untuk membentuk negara-negara bagian yang akan menjadi anggota federasi NIS.

Rakyat menamakan negara bentukan Belanda itu sebagai “negara boneka”, karena pembentukannya dilakukan secara sepihak tanpa mendengarkan kehendak rakyat setempat dan tanpa memperdulikan keberatan/protes RI.

Tujuan Belanda membentuk negara-negara bagian itu tidak hanya untuk menjadikannya sebagai federasi NIS, namun juga untuk melemahkan RI. Belanda berharap, dengan semakin banyak negara boneka yang dibentuk, RI menjadi semakin kecil dan lemah.

Pada bulan Desember 1947 Negara Sumatera Timur terbentuk, menyusul Negara Madura pada bulan Febuari 1948. Saat yang hampir bersamaan terbentuk pula Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Sumatera Timur, dan lainnya.

Keseluruhan negara boneka bentukan Belanda berjumlah 15 negara. Hal itu sebenarnya tidak sesuai dengan keputusan Konferensi Malino bahwa NIS hanya akan terdiri dari 3 negara bagian: NIT, Borneo, dan Jawa Sumatera (RI).

Dengan demikian Belanda telah melanggar keputusan Malino dan Perjanjian Linggarjati. Namun upaya Belanda membentuk negara-negara bagian itu nyatanya hanya membawa hasil yang minimal dan terbatas, sebab seperti yang terbukti dikemudian kemauan baik yang diperoleh dari komprador-kompradornya menghilang dengan segera/cepat.

Begitu sulit melegitimasi NIT sebagai sebuah negara yang memenuhi persyaratan formal ataupun material. Menteri Keuangannya, Hamelink adalah seorang Belanda. Selain menteri-menterinya yang bermasalah, hampir seluruh pejabat yang memegang posisi kunci dibawahnya yaitu orang-orang Belanda.

Anggaran belanja negara hampir seluruhnya bergantung pada pemerintah Belanda di Jakarta. Dan, jabatan penting di daerah-daerah masih dipegang orang-orang Belanda. Di Ternate, misalnya, semua pejabat onderafdeling seperti HPB (Hoofd van Plaatselijk Bestuur), gezaghebber, controleur masih dipegang orang belanda. Di samping itu, NIT tidak memiliki mata uang, tentara dan polisi sendiri. Negara tersebut masih menggunakan mata uang Belanda, tentara KNIL dan polisi Belanda. Bahkan, lagu kebangsaannya pun masih tetap lagu kebangsaan Belanda, “Wilhelmus”, dan benderanya pun masih tetap merah- putih- biru.

Demikianlah ulasan yang pada kesempatan kali ini dapat sampaikan, tidak lupa pula sampai terima kasih kepada anda yang telah menyempatkan diri untuk, membaca ataupun berkunjung. Kiranya cukup sekian yang dapat disampaikan, semoga bermanfaat dan semoga anda sukses! Sampai Jumpa!